Manusia Dan Kebutuhannya Terhadap Agama
Manusia Dan Kebutuhannya Terhadap Agama
A.
Pendahuluan
“Aku pergi
ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku
pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam”.[1] Ini
adalah ungkapan terkenal yang muncul dari tokoh Islam dari Mesir yaitu Muhammad
Abduh. Ungkapan ini muncul ketika beliau tinggal di Prancis. Disana Muhammad
Abduh menyaksikan negara itu yang sangat rapi, bersih dan warganya disiplin.
Sebaliknya beliau tidak menemukan itu di Mesir atau di negara-negara Arab
lainnya yang mayoritas penduduknya muslim.
Ada penelitian menarik yang dilakukan oleh Stephen
Bullivant, seorang Guru Besar teologi dan sosiologi di St Mary’s University
London. Penelitian tersebut[2] menghasilkan fakta bahwa
mayoritas generasi milineal di Eropa mengaku tidak punya agama. Ia juga menjelaskan
bahwa kecenderungan anak-anak muda disana tidak punya afiliasi dengan agama
atau tidak menjalankan agama. Tambahnya lagi bagi generasi milenial pengaruh
agama sangat lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.[3]
Banyak yang sepakat bahwa beragama yang tepat dan
baik akan membawa manusia pada pencapaian kedamaian dan ketenangan yang hakiki.
Namun, tidak sedikit pula mereka yang punya pendapat sebaliknya, tanpa agama
manusia bisa mencapai kedamaian. Dua fenomena tersebut membuktikan bahwa ada
semacam anggapan jika agama tidak mempunyai pengaruh pada kehidupan. Mereka
beragumen bahwa beberapa tempat yang masyarakatnya tidak mengenal agama
tercipta adanya kehidupan yang damai dan tentram.
Maka muncul beberapa pertanyaan. Apa perbedaan
kedamaian yang bersumber dari agama dengan kedamaian yang dihasilkan dari
budaya masyarakat? Kalau umat sudah hidup damai tanpa agama, apa pentingnya
peranan agama dalam kehidupan manusia? Mungkin inilah beberapa alasan manusia
sekarang ini banyak yang menjauh lari dari agama. Karena bagi mereka beragama
maupun tidak nilanya sama. Tulisan ini berupaya menguraikan tentang kebutuhan
dasar manusia kepada agama. Dengan lebih dulu membahas tentang siapakah manusia
dan apakah agama itu.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Manusia
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia manusia adalah
mahluk yang berakal, berbudi yang mampu mempengaruhi mahluk lain. Dengan
berbagai kemampuan dan bentuknya maka
manusia menjadi mahluk yang lebih unggul dibanding mahluk lain. Menurut
Thomas Aquinas manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari
badan dan jiwa.[4] Dalam
hal ini Adz-Dzaki menyatakan bahwa manusia adalah mahluk Allah yang paling
sempurna baik dari aspek Jasmaniah lebih-lebih ruhaniyah.[5]
Pendapat lain mengatakan bahwa manusia adalah mahluk
yang memiliki pengaruh among (unique) di dalam komunitas atau ekosistem,
namun ia juga sangat menggantungkan keperluannya pada ekoisitem tersebut.[6]
Definisi ini memberi pengertian bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki
derajat tinggi diantara mahluk lain, akan tetapi ia tidak bisa lepas dari
ketergantungan pada yang lainnya. Dalam arti lain manusia sebagai mahluk sosial
yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam pandangan filsafat manusia didefinisikan
sebagai binatang yang berfikil/berakal sebagai ungkapan yang sering didengar “al-insanu
hayawanun nathiq”. Sebagaimana ungkapan Aristoteles (384-322 SM), manusia
adalah hewan yang berakal atau berkata yang dengan kata-katanya itu manusia
mampu mengutarakan pendapatnya. Jadi dalam pandangan falsafi ini manusia tidak
lain adalah binatang dalam hubungannya dengan lingkungan hidup. Namun, ada
pembeda antara manusia dengan binatang adalah adanya akal yang bisa untuk
berfikir.
Telah disinggung pada tulisan sebelumnya, manusia
terbagi oleh dua unsur. Unsur ruhaniyah (ruh) dan unsur jasadiyah (jasad/raga).
Kedua unsur ini memiliki sifat yang benar-benar berbeda. Kalau ruh sifatnya
batin dan sangat halus, maka jasad sifatnya dohir dan kasat mata atau bisa
diindera. Sebagaimana pembagian unsur manusia menurut al-Ghazali yang membagi
manusia kedalam dua unsur, tubuh (jism) dan jiwa (nafs). Kedua unsur ini, unsur
jiwalah (ruhaniyah) yang menjadi pembeda antara manusia dengan mahluk-mahluk
yang lain.[7]
Selanjutnya Imam Ghazali dalam aspek ruh membagi empat bagian, yaitu; al-qalb, al-ruh,
al-nafs dan al-‘aql. Qalb secara fungsi sebagai alat untuk
mengetahui hakikat dari sesuatu. Sedangkan ruh merupakan subtansi dari manusia.
Pada dasarnya jiwa/ruh manusia adalah suci dan dekat dengan Tuhan, karena
fitrah manusia adalah percaya adanya Tuhan dan upaya mengenal-Nya. Kebahagiaan
dunia akhirat dan dekat dengan Tuhan adalah tujuan manusia.[8]
Dilihat dari unsur ruhaniyahnya, maka menarik sekali
mengkaji manusia dari segi psikologi, kareana psikologi memandang manusia dari
segi jiwanya. Sebagai mahluk sosial, dimanapun berada manusia selalu tidak
terpisahkan oleh lingkungan yang didiami. Dalam berinteraksi dengan lingkungan,
manusia selalu dikendalikan oleh kondisi kejiwaannya.
Manusia adalah mahluk yang paling mulia diantara
mahluk-mahluk Tuhan yang lain. Dengan berbagai kelebihan yang diberikan
menjadikan manusia mampu mengelola dan memanfaatkan alam atau bumi tempat
manusia tinggal. Namun, tidak sepenuhnya seluruh manusia mampu dan sadar akan
pengelolaan alam, bahkan ada sebagian kerusakan dan kehancuran alam disebabkan
oleh tangan manusia.
Manusia tercipta dilengkapi dengan kebutuhan yang bersifat
batin dan kebutuhan dhohir. Kebutuhan batin yang berupa perasaan tenang dan
damai sedangkan kebutuhan dhohir berupa fasilitas yang membuat nyaman
raga/fisik manusia. Dalam mencapai kebutuhan dhahir dan batin manusia perlu
aturan yang baku dan dinamis.
Tidak hanya dengan terpenuhinya kebutuhan dhahir dan
batin sebagai upaya mencapai ketenangan hakiki, manusai juga perlu
menyeimbangkan hubunganya antara dia dengan sesama dan antara dia dengan
penciptanya. Pengaturan kedua hubungan ini diatur oleh sesuatu yang disebut
agama.
2.
Pengertian
Agama
Secara bahasa agama berasal dari bahasa sanskrit,
yaitu tersusun dari a yang berati tidak dan gama yang berarti
pergi sehingga jika digabung bermakna tidak pergi atu tidak kemana-mana.
Artinya agama adalah bersifat turun-temurun. Sesuatu yang diwariskan. Jika
dilihat dari bahasa latin, agama sepadan dengan kata relege, yang
mengandung makna mengumpulkan, membaca. Makna ini dihubungkan dengan kebiasaan
orang yang beragama dengan membaca ayat-ayat Tuhan.
Belum ditemukan definisi tentang agama yang secara
umum bisa menguraikan makna yang sebenarnya tentang agama. Para ahli memberikan
defini agama yang berbeda-beda. Secara istilah agama memiliki beberapa
pengertian, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, serta tat kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.[9]
Harun Nasution agama dengan berbagai pengertian;[10]
1. Pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan
manusia.
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa agama adalah suatu ajaran yang dipegang dan dilaksanakan
sebagai bentuk kepercayaan dan pengabdian kepada Tuhan dengan segala sifat
kesempurnaan. Sebagaimana definisi tersebut agama memiliki unsur-unsur pokok
yaitu kepercayaan kepada Tuhan, adanya ajaran yang diamalkan dari kitab suci
yang diturunkan atau yang diwariskan sebagai petunjuk untuk mencapai
kebahagiaan dunia akhirat.
3.
Manusia dan
kebutuhannya Terhadap Agama
Manusia diciptakan dengan dibekali akal yang
memiliki kemampuan untuk menemukan dan berfikir. Dengan berfikir manusia bisa
menjumpai fenomena-fenomena yang muncul baik fenomena yang dhohir maupun yang
ghaib. Disamping juga manusia mempunyai kencenderungan suka kepada sesuatu yang
fitrah (suci) dan hakiki. Namun tidak hanya dibekali oleh akal, manusia juga
dibekali dengan nafsu yang cenderung kepada sifat-sifat hewani.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa pergulatan psikologis
manusia adalah cenderung kepada kesenengan-kesenangan jasmani dan mengikuti
godaan-godaan dunia.[11]
Untuk mencapai kebahagian yang hakiki maka diperlukan keselarasan antara akal
dan nafsu. Dalam upaya menyelaraskan hal ini dibutuhkanlah petunjuk berupa
aturan agama. Agama memberikan petunjuk-petunjuk yang membawa manusia untuk
menggapai kebahagian dunia dan akhirat.
Ajaran agama menjadi acuan dan kerangka berfikir dan
berperilaku. Pada garis besar menurut Mc. Guire sistem nilai yang diajarkan
agama bisa memberi individu dan kelompok umat perangkat sistem nilai dalam
bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat.[12]
Disamping itu agama juga memberikan harapan-harapan berupa imbalan (pahala)
terhadap setiap kreatifitas amal kebaikan yang dikerjakan. Dan sebaliknya agama
juga memberikan peringatan-peringatan berupa balasan berupa siksa kepada
pelaku-pelaku kejahatan dan dosa.
Hal penting lagi agama bagi manusia adalah karena
agama akan memberikan beberapa fungsi:[13]
1. Berfungsi Edukatif
2. Berfungsi Penyelamat.
3. Berfungsi Sebagai Perdamaian
4. Berfungsi Sebagai Sosial Kontrol
5. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
6. Berfungsi Transformatif
7. Berfungsi Kreatif
8. Berfungsi Sublimatif
Hal yang paling penting dalam beragama adalah adanya
sandaran setiap amal yang dilakukan kepada Tuhan yang memiliki sifat abadi.
Amalan dan perilaku baik, jujur, amanat dan menempati janji yang didasarkan
kepada kerelaan Tuhan akan melahirkan keihlasan yang tanpa pamrih. Dimanapun
penganut agama berada, kapan dan dalam kondisi apapun dia akan tetap pada
kondisi untuk mencapai kerelaan Tuhan kepadanya.
Berbeda dengan amal baik yang tidak bersandar kepada
Tuhan. Orang-orang yang tidak beragama melakukan kebaikan (jujur, amanah dan
disiplin) dan menjaga norma-norma tertentu karena beberapa alasan;
1. Takut mendapat stigma jelek dari lingkungannya.
2. Berharap agar mendapat apresiasi dan kebaikan sepadan dari orang lain.
3. Adanya rasa takut mendapat hukuman dari penguasa setempat.
Tentu perilaku yang semacam rentan akan berlangsung lama. Mereka tidak
lagi berbuat baik jika tidak ada stigma dari lingkungan. Mereka tidak lagi
beramal baik jika tidak mendapat apresiasi dari orang-orang sekitarnya. Mereka
akan berbuat sewenang-wenang karena tidak ada aturan hukum yang bisa menjerat
perbuatannya.
Inilah pentingnya agama bagi umat manusia. Dengan
beragama manusia memiliki aturan yang akan membawanya kepada keselamatan dan
kebahagiaan dunia akhirat. Bagi manusia yang beragama akan selalu menyandarkan
setiap perilakunya kepada harapan atas balasan dari Tuhan. Hal ini akan membawa
keistikomahan kepada penganutnya dalam berperilaku baik, tanpa menghiraukan
stigma dan apresiasi lingkungan sekitarnya.
C.
Pertanyaan
Jawaban pertanyaan berikut:
1. Jelaskan definisi lain dari manusia!
2. Jelaskan kebutuhan dasar manusia!
3. Sebutkan unsur-unsur penting pada agama?
4. Seberapa penting kebutuhan manusia kepada agama?
D.
Daftar
Pustaka
Aat
Hidayat. Psikologi Dan Kepribadian Manusia: Perspektif Al-Qur’an dan
Pendidikan Islam. Jurnal Penelitian. IAIN Kudus, Vol. 11, No. 2 Agustus
2017.
Adz-Dzaky, Hamdani Bakra. 2004. Konseling
dan Psikologi Islam. Yogyakarta: Al-Manar.
Hardono Hadi. 1996. Jati Diri Manusia.
Yogyakarta: Kanisius.
Hasanah. 2016. Manusia dalam Pandangan
Imam Al-Ghazali. Jurnal Visipena. STIKIP Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh.
Volume VII no. 2.
Imam al-ghazali. 2021. Ihya Ulumuddin.
juz. 4. Dar al-Kotob al-‘Ilmiyah. Beirut.
Jujun S. Suria Sumantri. 2006. Ilmu
dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Mulyadi. 2016. Agama dan Pengaruh dalam
Kehidupan. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad. Vol. VI Edisi 02.
Nurmaidah. 2019. Manusia dan Agama
(Konsep Manusia dan Agama dalam Al-Qur’an) Juenal PENDAIS Volume I nomor 1
R. Abuy Sodikin. 2013. Konsep Agama dan
Islam. Jurnal al-Qalam vol. 20 No. 97 (April – Juni 2003).
Yusuf R.
Yanuri. Muhammad Abduh: Ada Muslim Tapi Tidak Ada
Islam.
https://ibtimes.id/muhammad-abduh-ada-muslim-tapi-tidak-ada-islam/
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43486011
.
[1] Yusuf R. Yanuri. Muhammad Abduh: Ada Muslim Tapi Tidak Ada Islam. https://ibtimes.id/muhammad-abduh-ada-muslim-tapi-tidak-ada-islam/
(diakses pada: 2 September 2021, pukul 23:51)
[2] Penelitian
dilakikan dengn mensurvei
anak-anak muda di 12 negara di Eropa pada rentang waktu tahun 2014-2016.
[3] BBC News
Indonesia. Mayoritas Generasi Milenial di 12 Negara Eropa mengaku ‘tak punya
agama’: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43486011
(diakses pada: 6 September 2021, pukul 13:32)
[4] Hardono Hadi.
1996. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 33
[5] Adz-Dzaky,
Hamdani Bakra. 2004. Konseling dan Psikologi Islam. Yogyakarta:
Al-Manar. hlm. 13
[6] Jujun S. Suria
Sumantri. 2006. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
hlm. 237
[7] Hasanah. 2016. Manusia
dalam Pandangan Imam Al-Ghazali. Jurnal Visipena. STIKIP Bina Bangsa
Getsempena Banda Aceh. Volume VII no. 2. hlm. 106
[8] Imam al-ghazali.
2021. Ihya Ulumuddin. juz. 4. Dar al-Kotob al-‘Ilmiyah. Beirut. hlm. 107
[9] Nurmaidah. 2019. Manusia
dan Agama (Konsep Manusia dan Agama dalam Al-Qur’an) Juenal PENDAIS Volume
I nomor 1 tahun 2019. hlm. 39.
[10] R. Abuy Sodikin. Konsep
Agama dan Islam. Jurnal al-Qalam vol. 20 No. 97 (April – Juni 2003). hlm. 2
[11] Aat Hidayat. Psikologi
Dan Kepribadian Manusia: Perspektif Al-Qur’an dan Pendidikan Islam. Jurnal
Penelitian. IAIN Kudus, Vol. 11, No. 2 Agustus 2017. hlm. 476
[12] Mulyadi. Agama
dan Pengaruh dalam Kehidupan. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad. Vol. VI Edisi 02.
2016. hlm. 557
[13] ibid...
Komentar
Posting Komentar